rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Suku Kampar (Suku Ocu)



Suku kampar merupakan salah satu suku yang ada di kabupaten kampar, propinsi Riau, suku ini juga dikenal dengan sebutan suku Ocu, padahal sebutan ocu bukanlah nama suku tapi sebuah sebutan yang digunakan orang kampar. Suku kampar terdiri dari beberapa suku kecil, yaitu suku piliang, suku domo, suku putopang, suku kampai, dan suku mandiliong.
Penduduk Kampar kerap menyebut diri mereka sebagai Oughang Kampar, tersebar di sebagian besar wilayah Kampar. Secara sejarah, etnis, adat istiadat, dan budaya mereka sangat dekat dengan masyarakat Minangkabau. khususnya dengan kawasan Luhak Limopuluah. Hal ini terjadi karena wilayah Kampar baru terpisah dari Ranah Minang sejak masa penjajahan Jepang di tahun 1942. Menurut H.Takahashi dalam bukunya Japan and Eastern Asia, 1953, Pemerintahan Militer Kaigun di Sumatera memasukkan Kampar ke dalam wilayah Riau Shio sebagai bagian dari strategi pertahanan teritorial militer di pantai Timur Sumatera.

Rumah Lontiok Modern
Sejarah
Beragam asal-usul menceritakan sejarah orang kampar, salah satunya menceritakan bahwa suku kampar merupakan suku berasal dari orang-orang minangkabau. Hal ini mungkin berhubungan dengan letak kediaman suku kampar di kabupen kampar yang berbatasan angsung dengan provinsi Sumatera Barat. Selain itu, berbagai unsur kebudayaan yang ada di suku kampar mempunyai kemiripan dengan kebudayaan Minangkabau yang ada Sumatra Barat, seperti bahasa, adat istiadat, struktur pemerintahan, gaya bangunan dan lain sebagainya.
Menurut sejarah, wilayah kediaman dari masyarakat Kampar, merupakan wilayah kekuasaan dari kerajaan Pagaruyuang. Meskipun banyak kemiripan antara budaya Kampar dan Minangkabau, namun masyarakat kampar menolak diakui sebagai keturunan orang Minangkabau.
Asal usul lainnya mengenai Suku Kampar mengatakan bahwa, Suku Kampar berasal dari Melayu daratan. Anggapan ini diperkuat dengan kesamaan karakteristik yang dimiliki masyarakat Kampar dengan kebudayaan dan adat istiadat di beberapa Provinsi Riau yang sebagian besar dihuni oleh orang Melayu.
Masyarakat Kampar menggunakan bahasa kampar dalam kesehariannya. Bahasa kampar dikategorikan sebagai bagian dari rumpun bahasa melayu. Akan tetapi umur bahasa Kamapar diperkirakan lebih tua dibandingkan dengan bahasa Melayu dataran.
Panggilan Suku Kampar
Dalam adat Kampar, anak pertama oleh saudara-saudaranya dipanggil dengan sebutan Uwo (berasal dari kata Tuo, Tua, yang paling tua).
Anak kedua dipanggil oleh adik-adiknya dengan kata Ongah, yang berasal dari kata Tengah, artinya anak yang paling tengah, atau anak ke dua. Sedangkan anak yang ke tiga dipanggil oleh adik-adiknya dengan nama Udo, atau anak yang paling Mudo atau yang paling Muda.
Untuk anak yang ke empat baik laki-laki maupun perempuan, juga dipanggil dengan Ocu, yang kemungkinan besar juga berasal dari kata Ongsu, yang dalam bahasa Indonesianya berarti Bungsu atau anak yang bungsu (terakhir). Anak ke lima dan seterusnya juga berhak untuk disapa dengan Ocu.
Tidak hanya dalam struktur kekeluargaan saja kata Ocu ini digunakan, tapi juga digunakan bagi anak-anak yang lebih muda kepada teman, kerabat dan sanak keluarga. Seperti anak muda kepada yang sedikit lebih tua dari pada dirinya.
Kata ini juga dipakai sebagai panggilan kehormatan dan kebanggaan (bukan panggilan kebesaran seperti gelar adat) bagi orang Kampar.
Rumah Adat Kampar
Rumah Pelancangan atau rumah Lontiok adalah rumah adat yang terdapat di daerah suku kampar. Bentuk rumah Lontiok dikatakan berasal dari bentuk perahu, hal ini tercermin dari sebutan pada bagian-bagian rumah tersebut seperti: bawah, tengah, ujung, pangkal, serta turun, naik. Dinding depan dan belakang dibuat miring keluar dan kaki dinding serta tutup didinding dibuat melengkung sehingga bentuknya menyerupai sebuah perahu yang diletakkan diatas tiang-tiang.
Rumah Lontiok berfungsi sebagai rumah adat dan rumah tempat tinggal. Dibangun dalam satu prosesi panjang yang melibatkan masyarakat luas serta upacara.
Rumah Lontiok atau Lontik, merupakan rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya binatang buas dan banjir. Kolong rumah, biasanya digunakan untuk kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang atau tempat bermain anak-anak, dan gudang kayu untuk persiapan bulan puasa. Kemudian lain penyebab pemakaian konstruksi panggung adalah adanya ketentuan adat untuk memakai tangga, dengan jumlah anak tangga ganjil dan menyediakan tempayan air didekatnya untuk mencuci kaki di pangkal tangga. Ketentuan adat juga menyatakan bahwa penghuni perempuan cukup berpakaian sedada tanpa baju (kemban) di dalam rumah atau tidur-tidur dirumah tanpa adanya penyekat/pelindung ruang. Kalau rumah dibangun rendah atau “melekat” di atas tanah, maka keadaan di dalam rumah akan kelihatan dari luar rumah.
Dinding luar Rumah Lontik seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung keatas, dan kalau disambung dengan ukiran sudut-sudut dinding, kelihatan seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengjung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut Sulo Bayung. Sedangkan Sayok Lalangan merupakan ornamen pada ke 4 sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya
Rumah Lontiok

Ritual Pernikahan Suku Kampar
Dalam adat pernikahan suku kampar ada beberapa ritual yang harus dijalani oleh masyarakat adat kampar dalam resepsi pernikahannya, berikut ini urainnya:
1.      Ibu-ibu membantu memasak di rumah mempelai wanita.
Di Kabupaten Kampar dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan cara bergotong royong dalam melakukan sesuatu termasuk dalam mempersiapkan makanan untuk resepsi pernikahan.
2.      Acara Shalawatan (Badiqiu)
Badiqiu merupakan suatu acara yang ada dalam kebudayaan masyarakat kampar. Acara ini dilakukan oleh para tokoh-tokoh dan sesepuh adat pada malam hari sebelum acara resepsi pernikahan dilakukan, agar acara pernikahan ini berlangsung dengan hikmat dan keluarga yang baru menjadi keluarga yang utuh hingga akhir hayat.
3.      Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan (Ba'aghak)
Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini, menambah kehikmatan nilai budaya yang sakral pada acara pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan, biasanya shalawatan selalu di kumandang kan hingga akhirnya Pihak Lelaki sampai kerumah Pihak Perempuan. Setelah pihak laki-laki tiba, kedua mempelai langsung di persandingkan.
4.      Acara Pengantaran Pihak Lelaki dengan membawa Hantaran (Jambau)
Seperti adat di daerah lainnya, hantaran juga berlaku di kabupaten kampar, tetapi tidak terlalu mengikat, jika mempelai lelaki tidak mampu untuk memberikanhantaran, maka ini tidak di wajibkan untuk membawa hantaran tersebut.

Upacara Adat Turun Kesawah: Mambantai Kabau Nan Gadang




Tradisi Upacara Adat Turun Kesawah dengan Mambantai Kabau Nan Gadang di Alam Surambi Sungai Pagu, Kab. Solok Selatan ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rezeki yang telah dilimpahkannya dan doa tolak bala agar tanaman padi yang akan mereka tanam terbebas dari berbagai hama.

SEJARAH
Ketika romobongan Nenek moyang Anam puluah kurang aso malanca-malatiah rimbo disekelingling Kuala Banda Lakun (Alam Surambi Sungai Pagu) dimasa itu, sesampainya didaerah yang sekarang dikenal dengan Koto Birah dan Lubuk Jariang (Alam Pauah Duo) bertemu dengan tiga orang nenek moyang yang sudah lama bermukim disana, mereka adalah nenek moyang orang Alam Pauah Duo, rombongan dari nenek anam pulauh kurang aso tadi segera melaporkan keberadaan pertemuan itu kepada niniak Nan Kawi Majo Ano yang pada saat itu menjadi Raja Alam, setelah mendengar laporan tersebut beliu menitahkan supaya nenek moyang orang Alam Pauah Duo tersebut membayar bunga padang yang ditetapkan berupa seekor kerbau pada setiap tahunnya.
Ketika nenek orang Alam Pauah Duo menyerahkan kerbau maka yang berhak memilihnya adalah Nenek orang dari Parik Gadang Diateh (Balun) pantas atau tidaknya beliu pulalah yang menyampakain kepada Raja Alam pada waktu itu beserta disaksikan oleh seluruh rakyat, oleh Raja Alam pada saat itu setiap tahunnya diadakan upacara memberikan makan kepada segenap rakyat, daging kerbau yang dipotong dibagi-bagikan untuk dimasak dan dimakan bersama-sama sebagai kewajiban Yang Dipertuan Raja Alam yang dikenal juga dengan batabua urai (memberi makan).
Banuaran, adalah sebuah kampuang tertua yang berada di Banda Lakun (Alam Surambi Sungai Pagu) yang berada di Alam pauah Duo, merupakan pijakan pertama nenek moyang pada generasi pertama dan kedua, disana terdapat kandang kabau (peternakan kerbau) kepunyaan Inyiak Rajo Tuakal, disini terdapat kumpulan kerbau jantan yang ukurannya sangat besar-besar yang disebut dengan “Bujang Sembilan” menurut legenda, kerbau-kerbau tersebut berkeliaran sampai ke Tapan daerah Sako di Pesisir Pantai Barat, awal ceritanya Bujang Sembilan inilah yang pertama kali dikirim untuk diserahkan kepada Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Sungai Pagu sebagai upeti atau bunga padang setiap tahunnya.
TATA CARA PELAKSANAAN

Setiap akan dimulai turun kesawah bersamaan dengan datangnya musim hujan antara pertengahan bulan Desember sampai dengan pertengan bulan Januari, Penghulu adat yang ada dalam lingkungan batas dari Balun batu Hilir sampai keranah Pasir Talang, terus ke Languang dan Koto Baru, ke Sako Luhak nan Tujuh sampai ke Batang Marinteh Mudiak di Pauah Duo, menetapkan dengan mufakat untuk membantai/memotong Kerbau yang besar, serta menyampaikan plakat turun kesawah dan upacaranya. Seterusnya proses komunikasi antar suku untuk perencanaan sampai dengan pelaksanaan upacara dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat persiapan, teknis dan tahapan upacara puncak. Adapun urutan-urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. Pada hari yang telah ditentukan, setiap penduduk yang memiliki kerbau yang besar dan bagus harus dibawa kelapangan yang telah ditentukan untuk ditaksir/dinilai bersama-sama, kerbau mana yang akan dibantai nantinya.
2. Yang berwenang untuk menunjuk dan memilih Kerbau tersebut adalah orang dari Alam Pauah Duo.
3. Sedangkan untuk menentukan (mamatuik) dan mempertibangkan pantas apa tidaknya adalah orang dari Parik Gadang Diateh.
4. Setelah diputuskan barulah pembayaran dan pembantaian dilaksanakan. (Uang pembayaran berasal dari iuran/patungan Penghulu adat disetiap suku).
5. Walaupun diarena atau lapangan tersebut banyak dihadiri oleh orang-orang yang berpengalaman dalam memperhitungkan harga dan layak atau tidaknya kerbau yang akan di bantai tersebut, mereka tidak dapat untuk dimintakan pendapatnya mengenai hal tersebut diatas, hak veto dalam memilih kerbau ini adalah hak dari orang Alam Pauah Duo, sementara hak untuk mempertimbangkan dan penawaran harga adalah hak orang dari Parik Gadang Diateh. 
Adapun yang menjadi pokok dalam pembagian daging dari membantai kerbau besar ini bukanlah berdasarkan jumlah Penghulu yang ada atau hadir, melainkan berdasarkan raja yang ada di Alam Surambi Sungai Pagu, atau lebih dikenal dengan sebutan Rajo Nan Barampek sedangkan Raja Alam Surambi Sungai Pagu yang disebut sebagai Payuang Sakaki tombak sabatang, karena itu pembagian daging ini hanya terdiri dari lima bagian/kelompok yang terditi dari :
1. Seperlima bagian untuk Rajo suku Melayu yang dibagikan kepada penghulu/ninik mamak yang ada pada pesukuan kaum Melayu tersebut.
2. Seperlima bagian untuk Rajo suku Kampai yang juga dibagikan kepada penghulu/ninik mamak yang ada pada pesukuan kaum Kampai tersebut.
3. Seperlimanya lagi diserahkan pada Rajo dari kaum suku Tigo Lareh Bakapanjgan yang juga dibagikan kepada penghulu/ninik mamak yang ada pada pesukuan kaum Tigo Lareh Bakapanjangan tersebut.
4. Juga Seperlima bagian untuk Rajo suku Panai yang dibagikan kepada penghulu/ninik mamak pada pesukuan kaum Panai tersebut.
5. Dan seperlima bagiannya lagi dikembalikan ke asalnya di Batang Marinteh Mudiak (Alam Pauah Duo) untuk atas nama Dt. Rajo Mulie, yang indak Rajo kaganti Rajo, atau wakil Rajo Alam Surambi Sungai Pagu di Pauah Duo untuk dibagikan kepada masyarakat Alam Pauah Duo.

Sedangkan khusus untuk kepala kerbau yang di bantai diserahkan kepada Daulat Raja Alam Surambi Sungai Pagu yang disebut juga dengan ikua kudan kapalo kudan. Pembagian ini tergambar dalam bentuk dan potongan balai adat yang menjadi lambang adat Alam Surambi Sungai Pagu, bentuk dan tampaan balai adat tersebut seperti lebar anjungannya lebih kecil dari lebar ruangan (badan) balai-balai tersebut artinya “ketinggian Raja yang berkuasa keluar daerah, sedangkan kebesaran penghulu berhak kedalam/parik rantang” Alam Surambi Sungai Pagu.
Setelah selesai pelaksanaan membantaian atau memotong Kerbau, maka keesokan harinya dilaksanakan upacara puncak dengan makan-makan bersama, pada kesampatan ini diumumkan plakat turun kesawah selengkapnya menurut tata tertib yang disusun. Upacara ini diadakan di Mesjid Raya Alam Surambi Sungai Pagu (dahulu Mesjid kurang aso enam puluh) di Ranah Pasir Talang, peserta upacara duduk berkelompok menurut belahan besar sukunya masing-masing, sesuai dengan susunan ruangan dalam Masjid yang telah dirancang orang tua-tua dahulunya yaitu sebanyak Lima ruangan. Dua ruangan bagian selatan diisi oleh suku Kampai dan Tigo Lareh Bakapanjangan, dua ruang bagian utara di sisi oleh kaum suku Malayu dan Panai, sedangkan ruangan yang terdapat pada bagian tengah diisi oleh tamu udangan atau para pejabat pemerintahan.


Membantai yang diutarakan diatas disebut juga bantai rajo-rajo dan tiap-tiap luhak atau daerah kelompok sawah yang ada dalam parik rantang Sungai Pagu melaksanakan juga upacara membantai kerbau salo-manyalo yang dimulai dari Kapalo Banda di Balun (Parik Gadang Diateh), yaitu dengan jarak waktu kurang lebih seminggu dan sebagai upacara penutup sebelum turun kesawah dilaksanakan di Batang Marinteh Mudiak (Alam Pauah Duo) yang pelaksanaannya bertempat di Balai-balai lapeh, badinding bukik, baatok langik dan balantai tanah, dihadiri oleh Raja-raja atau yang mewakili beliau serta Niniak Mamak, disinilah utusan Rajo Alam menyampaikan titah berupa perintah atau larangan dan pantangan supaya dijauhi, diucapkan amad/larangan yang isinya antara lain :
1. Karimbo, kayu tak bulieh ditabang, rotan tak bulieh dirangguikan, manau tak buliah dipancuang.
2. Ka Batang Aie, aia tak buliah dikaruah, batu tak buliah dibaliak, tabiang tak buliah diruntuah, ikan tak buliah dicakau.
3. Ka samak baluka, buah manih, buah masam tak buliah diambiak dipanjek mudo, dan lain-lain.
Kok pantang dilampau, kok amad dilansuangkan/dilanggar maka kabawah indak baurek, kaateh indak bapucuak, di tangah-tangah digiriak kumbang, bak karakok tumbuah diateh batu, iduik sagan mati ndak amuah, dimakan sumpah sati.
Setelah pengelolaan sawah mulai dari pembagian air, menggarap, menabu dan batanan sampai pada saat padi di sawah telah disiangi, padi telah mulai terbit (berbuah) dan sawah mulai mulai dikeringkan, maka pantangan dan larangan diakhiri, yang disebut “mambubuih amad”, dan diatur dengan tata cara dalam kebijaksanaan hukum sebagai pedoman, kok maampang jaan sampai kasubarang, kok mandindiang jaan sampai ka langik, kok bubuik jan maruntuah tabiang, kok ungkai jan mararak bingkai.
Begitulah asal mulanya Membantai Kabau Nan Gadang (Besar) yang telah menjadi adat kebudayaan turun temurun setiap tahunnya saat mualai turun kesawah di Alam Surambi Sungai Pagu.