rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Penemuan Naskah Minangkabau (Naskah Melayu Tertua di Dunia)

ULI Kozok, doktor filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia. Lewat temuan sebuah naskah Malayu kuno di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada 2002, ia membantah sejumlah pendapat yang telah menjadi pengetahuan umum selama ini. Pendapat pertama, selama ini orang beranggapan naskah Malayu hanya ada setelah era Islam dan tidak ada tradisi naskah Malayu pra-Islam. Artinya, dunia tulis-baca orang Malayu diidentikkan dengan masuknya agama Islam di nusantara yang dimulai pada abad ke-14.

"Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau' Islam.

Naskah Tanjung Tanah halaman34

Berdasar uji radio karbon di Wellington, Inggris naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377. Naskah ini dibuat di Kerajaan Dharmasraya yang waktu itu merupakan pusat Kerajaan Malayapura yang beribukota di Saruwasa (Suruaso). Karena itu Kozok mengumumkan naskah tersebut sebagai naskah Malayu tertua di dunia yang pernah ditemukan.

"Ada pakar sastra dan aksara menganggap tidak ada tradisi naskah Malayu sebelum kedatangan Islam, ada yang beranggapan Islam yang membawa tradisi itu ke Indonesia, dengan ditemukannya naskah ini teori itu runtuh," kata Kozok yang bertemu Padangkini.com di Siguntur, Kabupaten Dharmasraya pengujung Desember 2007.

Aksara Sumatera Kuno

Pendapat kedua, seperti halnya Jawa, Sumatera sebenarnya juga memiliki aksara sendiri yang merupakan turunan dari aksara Palawa dari India Selatan atau aksara Pasca-Palawa. Selama ini aksara di sejumlah prasasti di Sumatera, seperti sejumlah prasasti-prasasti Adityawarman, disebut para ahli sebagai aksara Jawa-Kuno.

Padahal, menurut Kozok, aksara itu berbeda. Seperti halnya di Jawa, di Sumatera juga berkembang aksara Pasca-Palawa dengan modifikasi sendiri dan berbeda dengan di jawa yang juga bisa disebut Aksara Sumatera-Kuno.

Prasasti-prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat, menurutnya, sebenarnya aksara Pasca-Palawa Sumatera-Kuno, termasuk yang digunakan pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dengan perbedaan satu-dua huruf. Namun selama ini prasasti-prasasti itu disebut ahli yang umumnya berasal dari Jawa sebagai aksara Jawa-Kuno.

"Mereka punya persepsi bahwa Sumatera itu masih primitif dan orang Jawa yang membawa peradaban, begitulah gambaran secara kasar yang ada dibenak mereka, karena mereka peneliti Jawa, sehingga ketika mereka datang ke Sumatera dan melihat aksaranya, menganggap aksara Sumatera pasti berasal dari Jawa, nah sekarang kita tahu bahwa kemungkinan aksara itu duluan ada di Sumatera daripada di Jawa," katanya.

Pendapat ketiga, kerajaan Malayu tua pada zaman Adityawarman telah memiliki undang-undang tertulis yang detail. Undang-undang ini dikirimkan kepada raja-raja di bawahnya. Selama ini belum pernah ada hasil penelitian yang menyebutkan Kerajaan Malayu Kuno memiliki undang-undang tertulis.

Pendapat keempat, dengan ditemukannya "Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" selangkah lagi terkuak informasi mengenai Kerajaan Dharmasraya, Adityawarman, dan Kerajaan Malayu yang beribukota di Suruaso (Tanah Datar). Naskah tersebut menyebutkan bahwa Kerajaan Malayu beribukota Suruaso yang dipimpin oleh Maharaja Diraja, di bawahnya Dharmasraya yang dipimpin Maharaja, dan di bawah Dharmasraya adalah Kerinci yang dipimpin Raja.

"Meski begitu saya yakin kekuasaan Suruaso dan Dharmasraya terhadap Kerinci hanya secara ‘de jure' (hukum-red) dan bukan ‘de facto' (kekuasaan), sebab Kerinci waktu itu tetap memiliki kedaulatannya sendiri, hubungannya lebih kepada perekonomian karena Kerinci penghasil emas dan pertanian," kata Kozok.

Undang-Undang dari Dharmasraya

Transliterasi dan terjemahan naskah 34 halaman itu dilakukan sejumlah ahli yang dikoordinasi oleh Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa). Ternyata naskah tersebut berisi undang-undang yang dibuat di Dharmasraya (sekarang tepatnya di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat) yang diberikan kepada masyarakat Kerinci.

Dharmasraya waktu itu adalah pusat Kerajaan Malayapura/Malayu beragama Hindu-Buddha di bawah pemerintahan tertinggi di Saruaso (Tanah Datar) dengan raja Adityawarman. Tulisan tentang naskah kuno ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Malayu yang Tertua (Yayasan Obor Indonesia: 2006). Edisi sebelumnya dalam bahasa Inggris The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript ( Cambridge: St Catharine's College and the University Press: 2004).



Source:
pandaisikek.net
ulikozok.com

Juru Masak Dapur Kerajaan Istana Pagaruyung Masih Eksis Hingga Sekarang.

Maiyar (56th), pemimpin koki Pagaruyung dan timnya terbiasa memasak makanan untuk jamuan makan besar dengan tetamu VVIP yang bertandang ke Pagaruyung, seperti Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sultan Hamengku Buwono X, Raja Negeri Sembilan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, sejumlah menteri, pejabat daerah, cendekia, musisi, dan penyanyi tenar.

Maiyar bercerita, kalau makanan yang dihidangkan untuk pejabat tinggi negara biasanya diperiksa dulu oleh pasukan keamanan. ”Makanannya ditaruh sikit di mesin seperti periksa darah saja. Lalu, mereka coba sendiri makanannya. Nanti, sewaktu mau pulang, petugas keamanannya minta dibungkuskan rendang dan sarikayo. Boleh, asal sikit saja biar yang lain juga dapat,” kata Maiyar.

Rendang belut yang dimasak para koki Istana Silinduang Bulan itu adalah salah satu lauk pelengkap dalam jamuan makan resmi yang diadakan Kerajaan Pagaruyung. Lauk utamanya adalah rendang daging sapi/ kerbau. ”Rendang daging itu yang utama dan harus ada,” ujar Rhauda, ahli waris takhta Pagaruyung.

Lauk pelengkap lainnya adalah sambal lado, pangek ikan, gulai kuning, perkedel, jariang (jengkol) yang dimasak dengan ikan bilih, dan sambal petai-cabai hijau. ”Pejabat yang diundang makan banyak juga yang suka jariang,” kata Maiyar.

Kemampuan memasak para koki Silinduang Bulan, kata Rhauda, tidak perlu diragukan lagi. Mereka pernah menyiapkan makanan untuk 500 orang ketika Silinduang Bulan kedatangan seorang pejabat partai. Kata Maiyar, saat itu 30 juru masak bekerja dengan tungku kayu bakar berderet-deret.

Para koki Istana Silinduang Bulan adalah bagian dari jejak Kerajaan Pagaruyung yang berdiri abad ke-14. Kerajaan Pagaruyung merupakan kerajaan besar yang mencakup wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya. Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang Nurmatias menyebutkan, terdapat 75 wilayah kerajaan yang menginduk atau berhubungan dengan Pagaruyung, baik di Nusantara maupun luar negeri. Kerajaan Pagaruyung menjadi pemersatu bagi nagari-nagari yang memiliki sistem politik otonom.

Berpadu dengan kultur Melayu yang kaya perhelatan mulai dari perayaan siklus hidup, pengangkatan pejabat adat, hingga sejumlah hari raya keagamaan, selalu disertai dengan jamuan makan. Untuk kepentingan itu, di kerajaan ada orang-orang khusus dalam struktur kekuasaan yang menjamin sajian lezat terhidang.

”Zaman dulu, dalam struktur rumah tangga istana ada Kambang Salayan Awan Nan Bamego yang ahli masak dan mengatur menu makanan di istana,” ujar Raudha.

Peran itu kini diemban Maiyar selaku keturunan ahli masak Kerajaan Pagaruyung. Dia dan juru masak lainnya diwarisi para leluhurnya ”rahasia kelezatan” masakan Istana Silinduang Bulan. Resep-resep masakan di Istana itu diturunkan tanpa catatan sehingga semuanya harus diingat dalam ingatan.

Maiyar belajar memasak dari ibunya sejak usia enam tahun. Masakan yang pertama-tama dipelajari adalah rendang daging. ”Kalau tidak bisa masak rendang, kita tidak dianggap perempuan Minang. Masakan lain yang dipelajari adalah gulai jariang longkang (jengkol yang mulai bertunas), kalio ayam, ikan goreng, aneka sambal, sayur, dan kue,” tutur Maiyar.

Setiap kali Istana Silinduang Bulan menggelar perhelatan, Maiyar dan pasukannya itulah yang menyiapkan masakan. Kalau tugas itu diberikan kepada orang lain, mereka bisa marah. Pasalnya, memasak untuk istana adalah sebuah kehormatan

kuliner.kompas.com

Rumah Gadang Bertingkat

Minangkabau Huis
Banyak kita gambar-gambar Rumah Gadang Minangkabau berangka tahun 1800-an di situs-situs Meseum Belanda. Hal ini terjadi karena Belanda begitu tertarik dengan kebudayaan Matrilineal Minangkabau dan melakukan ekspedisi ke Pedalaman Minangkabau di waktu tersebut, tentu mereka tidak lupa untuk mengabadikannya dalam bentuk foto.

Yang menarik  adalah banyaknya ditemukan foto-foto rumah gadang bertingkat yang tidak kita temui sa'at sekarang ini. Yang jadi pertanyaan sekarang kenapa tidak ditemukan foto jadul rumah gadang bertingkat 3 seperti Istana Pagaruyung? Apakah tingkatnya ditambah 1 tingkat ketika pembangunan replika Istana, atau Belanda tidak sempat mengabadikan karena terbakar? Wallahualam.

Berikut adalah beberapa gambar-gambar rumah gadang bertingkat yang berhasil kami himpun:
Gezin en huis van een vaccinator (mantri tjatjar) in de Padangse Bovenlanden circa 1900
Het adathuis van Katieb Negri te Soepajang, Padangse Bovenlanden, Sumatra’s Westkust circa 1887
Bangunan Gajah Maharam Bertingkap Desa Pasir Singkarak Kab solok
Een rumah gadang in kampong Baso bij Fort de Kock circa 1892
Repronegatief. Residence with rice barn, Agam circa 1863
Een rumah gadang in kampong Baso bij Fort de Kock circa 1892