20 Mei 2013

Penyebar Islam di Sulawesi Selatan dari Ranah Minang

Menurut catatan Kerajaan Goa dan Bone, agama islam masuk dengan resmi ke negeri itu adalah sekitar tahun 1602 atau 1603, karena Raja Goa Kraeng Tanigallo telah menerimanya dari tiga orang guru agama Islam yang dating dari Minangkabau yaitu Dato’ Ri Bandang, Dato, Ri Patimang dan dato, Ri Tiro. Tetapi sebelum raja memeluk agama Islam, orang Islam sebagai pedagang telah ada di Goa jauh sebelum itu. Ketika suatu perutusan Portugis dating ke Goa pada tahun 1540, mereka telah mendapati beberapa orang berdiam di Goa, tetapi mereka datang dari daerah lain. Dapatlah laporan orang Portugis itu diterima, jika diingat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 banyak pedagang Islam melarikan nasibnya ke daerah lain, diantaranya ke Makassar.
            Sultan Babullah dari Ternate  giat mempropagandakan Agama islam  ke daerah Makassar itu tahun 1570 dan tahun 1583. Pulau Buton telah menerima islam dari Ternate. Tetapi Raja Makassar yang belum memeluk agama Islam itu, masih berfikir-fikir dan menimbang-nimbang, agama yang manakah yang akan baginda terima. Kattholikkah, yang telah dipropagandakan oleh Portugis, atau Islam yang dipropagandakan oleh Ternater, keduanya sama mendesak. Memeluk suatu agama resmi, bagi seorang raja yang besar dengan sendirinya akan sangat besar pengaruhnya atas politik.
            Dalam hati kecilnya sang baginda raja Goa telah sudi menerima islam tetapi jangan hendaknya di bawah pengaruh Kerajaan Ternate yang dekat tempatnya. Dan dalam hati pula baginda belum bias menerima ajaran Khatolik, tetapi bujukan pendeta bertubi-tubi. Akhirnya baginda mengambil keputusan yang cerdik sekali, beliau akan masuk ke dalam salah satu agama, Katholik atau Islam. Tetapi baginda hendak meminta penjelasan/penerangan yang lebih luas dan dalam yaitu dari sumber yg asli. Dimintalah kepada Portugis untuk mendatangkan Pendeta dari Malaka dan dimintnya pula kepada pihak Islam, supaya mengirimkan ulama yang lebih alim dari Kerajaan Aceh, sebab Aceh lebih tua Islamnya.
            Baru saja permintaan itu kepada Sultan Aceh (Sultan saidi Al-Mukammil) permintaan itu segera dilaksanakan. Sehingga dikirimlah sebuah perutusan Ulama. Dalam catatan orang Bugis Makassar ulama itu dating dari Minangkabau diantaranya Khatib Tunggal  (disebut Dato Ri Bandang gelarnya di Makassar atau Dato di Bandar disebut gelarnya di Bhima) terdapat kuburnya sekarang ini di Tallo sebelah utara Goa. Tidaklah ada perbedaan pendapat bahwa  mereka dari Minangkabau, diutus oleh Sultan Aceh. Sebab Tiku, Pariaman, Air Bangis, Painan dan Indrapura adalah pantai pesisir Minangkabau yang pada ketika itu di bawah kekuasaan Aceh.  Dikatakan para mubaligh Islam dari Minangkabau tersebut berasal dari kerajaan Islam Indrapura.
Agama Islam diterima oleh Kraeng tanigallo thn 1603, lalu beliau memakai gelar Islam “Sultan Ala’udin Awwalul Islam” yang menerima ajaran tauhid dari Khatib Tunggal (Dato Ri Bandang) yang telah menimbulkan semangat baru bagi orang Makassar. Sultan Alauddin mangkat (setelah mangkat disebut gelarnya “Matinro Ri Agamanna/ mangkat karena memajukan agamanya), naiklah putranya Sultan Hasanuddin.
bagaimana perjuangan dan kiprah mereka dalam penyebaran agama islam di Sulawesi Selatan ini secara lebih dalam ?  
1. Wilayah Tallo dan Goa :
Sekitar awal abad ka 17, ketiga orang datuk ini mengislamkan Raja Tallo, pada hari Jumat 14 Jumadil Awal atau 22 September 1605, kemudian menyusul Raja Gowa XIV, yang akhirnya bernama Sultan Alauddin.” Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa merupakan kerajaan kembar yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Bahkan Mangkubumi (Perdana Menteri) kerajaan Gowa adalah juga Raja Tallo. Raja Tallo XV, Malingkaan Daeng Manynyonri merupakan orang pertama di Sulsel yang memeluk agama Islam melalui seorang ulama dari pantai Barat Sumatera, Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama Datuk Ribandang. Oleh karena itu pulalah kerajaan Tallo sering disebut-sebut atau diistilahkan sebagai pintu pertama Islam di daerah ini atau dalam bahasa Makassar ” Timunganga Ri Tallo”.
Kemudian Raja Gowa secara resmi mengumumkan bahwa agama resmi kerajaan Gowa dan seluruh daerah bawahannya adalah agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam di Sulsel, masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Dalam riwayat dikisahkan bahwa awalnya Datuk Ribandang sendiri bersama kawannya dilihat oleh rakyat kerajaan Tallo sedang melakukan shalat Asyar di tepi pantai Tallo. Karena baru pertama kalinya itu rakyat melihat orang shalat, mereka spontan beramai-ramai menuju istana kerajaan Tallo untuk menyampaikan kepada Raja tentang apa yang mereka saksikan. Raja Tallo kemudian diiringi rakyat dan pengawal kerajaan menuju tempat Datuk Ribandang dan kawan-kawannya melakukan shalat itu.
Begitu melihat Datuk Ribandang sedang shalat, Raja Tallo dan rakyatnya secara serempak berteriak-teriak menyebutkan ”Makkasaraki nabi sallalahu” artinya berwujud nyata nabi sallallahu. Inilah salah satu versi tentang penamaan Makassar, itu berasal dari ucapan ‘Makkasaraki’ tersebut yang berarti kasar/nyata.
Datuk Ribandang sendiri menetap di Makassar dan menyebarkan agama Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan wafat di Tallo. Sementara itu dua temannya, masing-masing Datuk Patimang yang nama aslinya Khatib Sulung Datuk Sulaiman, menyebarkan agama Islam di daerah Suppa, Soppeng, Wajo dan Luwu, dan wafat dan dikebumikan di Luwu. Sedang Datuk RiTiro atau nama aslinya Syekh Nurdin Ariyani berkarya di sejumlah tempat meliputi Bantaeng, Tanete, Bulukumba. Dia wafat dan di makamkan di Tiro atau Bontotiro sekarang.
2. Makassar – Bulukumba – Luwu ;
Sentuhan ajaran agama islam yang dibawa oleh ulama besar dari Sumatera itu, juga terdapat di Bagian selatan Sulawesi Selatan yang lain, yaitu Kabupaten Bulukumba, yang bertumpu pada kekuatan lokal dan bernafaskan keagamaan”. masing-masing dibawa oleh 3 orang Datuk ; bergelar Dato’ Tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar), dan Dato Patimang (Luwu),
3. Kabupaten Luwu dan Palopo
Sementara dalam itu sejarah Islam Kabupaten Luwu dan Palopo, menerangkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV M dan kira-kira pada tahun 1013 H, Agama Islam masuk didaerah Luwu yang dibawah oleh seorang alim Ulama yang arief ketatanegaraannya yaitu Datuk Sulaeman asal Minangkabau.
Pada waktu itu Luwu diperintah oleh seorang Raja yang bernama Etenrieawe. Ketika Datuk Sulaeman mengembangkan ajaran agama Islam di wilayah ini, hampir seluruh masyarakat Luwu menerima agama itu. Ketika itu kerajaan dibawah naungan Pemerintahan Raja Patiarase yang diberi gelar dengan Sultan Abdullah ( saudara kandungnya bernama Patiaraja dengan gelar Somba Opu) sebagai pengganti dari Raja Etenriawe, kemudian Datuk tersebut dalam mengembangkan Misi Islam, dibantu oleh dua ulama ahli fiqih yaitu Datuk Ribandang yang wafat di Gowa, dan Datuk Tiro yang wafat di Kajang Bulukumba .dan Datuk Sulaeman wafat di Pattimang Kecamatan Malangke, _+ 60 Km jurusan utara Kota Palopo melalui laut.
Datuk Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Patimang, karena beliau wafat dan dimakamkan di Pattiman.
Tak kurang ada sebuah hikayat yang mengkisahkan bahwa Al Maulana Khatib Bungsu (Dato Tiro) beserta kedua sahabatnya (Datuk Patimang dan Datuk Ribandang) mendarat di pelabuhan Para-para. Setibanya di darat, ia langsung menuju perkampungan terdekat untuk memberitahukan kedatangannya kepada kepala negeri. Namun dalam perjalanan menuju rumah kepala negeri, Dato Tiro merasa haus, dan beliau pun bermaksud untuk mencari air minum namun disepanjang pantai tersebut tidak terdapat sumur yang berair tawar. Dato Tiro menghujamkan tongkatnya di salah satu batu di tepi pantai Limbua sambil mengucap kalimat syahadat “Asyhadu Ala Ilahaillallah wa Ashadu Anna Muhammadarrasulullah”, anehnya setelah tongkatnya dicabut, keluarlah air yang memancar dari lubang di bibir batu tersebut. Pancaran air sangat besar dan tidak henti-hentinya mengalir sehingga akhirnya membentuk sebuah genangan air.Penduduk dan para pelaut kemudian memanfaatkan mata air ini untuk keperluan hidup sehari-hari. Hingga saat ini mata air tersebut tidak pernah kering dan ramai dikunjungi masyarakat.


Sebagai bentuk penghormatan terhadap penyebar agama Islam bersuku Minangkabau di Sulawesi Selatan, maka gedung pusat dakwah Muhammadiyah Sulawesi selatan di Makassar memakai arsitektur RUMAH GADANG..






Sumber :
Sejarah Islam :  Prof. Dr. Hamka, Cetakan Pertama 1994. Pustaka nasional PTE LTD, Singapura (via rantaunet)
http://bundokanduang.wordpress.com/2008/10/10/kunang-kunang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar