Arca Bhairawa Budha berdiri tegak menyambut kedatangan setiap pengunjung Museum Nasional Indonesia di ruangan depan setelah pintu masuk utama. Arca ini seolah mempunyai daya tarik magis karena ukurannya yang memang terlihat paling besar dan tinggi diantara koleksi arca-arca lainnya.
Daya tarik lainnya jika dilihat lebih dekat,
arca ini memegang mangkuk dan belati, berdiri sambil menginjak manusia
bertubuh kecil dan jajaran delapan tengkorak. Selain itu, Bhairawa
mengenaikan perhiasan berupa mahkota, kalung, kelat bahu, gelang tangan
dan kaki yang berupa belitan ulat, dan juga ikat pinggang berukir kepala
kala. Arca ini dipercaya sebagai perwujudan Raja Adityawarman, seorang
Maharajadiraja keturunan Melayu dan Jawa yang memproklamirkan kerajaan Malayapura cikal bakal Kerajaan Pagaruyung.
Arca ini menggambarkan ritual aliran Tantrayana yang mengorbankan manusia untuk mengusir sifat-sifat jahat. Aliran Tantrayana menunjukkan pengejawantahan dewa Siwa dan Budha. Simbol yang menunjukkan adanya pengaruh ajaran Budha adalah simbol patung Budha di mahkota bagian depan.
Konon, mangkuk yang dipegang Arca Bhairawa Budha berisi darah manusia untuk upacara meminum darah. Manusia kecil dan tengkorak yang diinjaknya adalah simbol-simbol pengorbanan dalam ritual tersebut. Aliran Tantra menguasai manusia. Jika mereka mengorbankan manusia, maka manusia itu akan mudah masuk surge nirwana. Aliran ini berkembang di agama Siwa yang dipercaya sebagai dewa tertinggi kedudukannya.
Arca raksasa ini sempat roboh dan terkubur tanah, hanya satu sisi bagian lapik (alas) yang menyembul ke permukaan tanah. Penduduk setempat yang tidak menyadari keberadaan arca itu menjadikan batu itu sebagai batu pengasah parang dan membuat lubang lumpang batu sebagai lesung untuk menumbuk padi. Hingga kini pun bekas lubang itu dapat ditemukan pada sisi landasan arca ini. Patung yang dikaitkan dengan perwujudan Raja Adityawarman itu diangkut oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935 ke Kebun Margasatwa Bukittinggi. Lalu pada tahun 1937 arca ini diboyong ke Museum Nasional di Batavia dan menghuni Museum Nasional hingga kini.
Arca ini menggambarkan ritual aliran Tantrayana yang mengorbankan manusia untuk mengusir sifat-sifat jahat. Aliran Tantrayana menunjukkan pengejawantahan
Konon, mangkuk yang dipegang Arca Bhairawa Budha berisi darah manusia untuk upacara meminum darah. Manusia kecil dan tengkorak yang diinjaknya adalah simbol-simbol pengorbanan dalam ritual tersebut. Aliran Tantra menguasai manusia. Jika mereka mengorbankan manusia, maka manusia itu akan mudah masuk surge nirwana. Aliran ini berkembang di agama Siwa yang dipercaya sebagai dewa tertinggi kedudukannya.
Arca raksasa ini sempat roboh dan terkubur tanah, hanya satu sisi bagian lapik (alas) yang menyembul ke permukaan tanah. Penduduk setempat yang tidak menyadari keberadaan arca itu menjadikan batu itu sebagai batu pengasah parang dan membuat lubang lumpang batu sebagai lesung untuk menumbuk padi. Hingga kini pun bekas lubang itu dapat ditemukan pada sisi landasan arca ini. Patung yang dikaitkan dengan perwujudan Raja Adityawarman itu diangkut oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935 ke Kebun Margasatwa Bukittinggi. Lalu pada tahun 1937 arca ini diboyong ke Museum Nasional di Batavia dan menghuni Museum Nasional hingga kini.