Tradisi Upacara Adat Turun Kesawah dengan Mambantai Kabau Nan Gadang di Alam Surambi Sungai Pagu, Kab. Solok Selatan ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala
rezeki yang telah dilimpahkannya dan doa tolak bala agar tanaman padi yang akan
mereka tanam terbebas dari berbagai hama.
SEJARAH
Ketika romobongan Nenek moyang Anam
puluah kurang aso malanca-malatiah rimbo disekelingling Kuala Banda Lakun (Alam
Surambi Sungai Pagu) dimasa itu, sesampainya didaerah yang sekarang dikenal
dengan Koto Birah dan Lubuk Jariang (Alam Pauah Duo) bertemu dengan tiga orang
nenek moyang yang sudah lama bermukim disana, mereka adalah nenek moyang orang
Alam Pauah Duo, rombongan dari nenek anam pulauh kurang aso tadi segera
melaporkan keberadaan pertemuan itu kepada niniak Nan Kawi Majo Ano yang pada
saat itu menjadi Raja Alam, setelah mendengar laporan tersebut beliu menitahkan
supaya nenek moyang orang Alam Pauah Duo tersebut membayar bunga padang yang
ditetapkan berupa seekor kerbau pada setiap tahunnya.
Ketika nenek orang Alam Pauah Duo
menyerahkan kerbau maka yang berhak memilihnya adalah Nenek orang dari Parik
Gadang Diateh (Balun) pantas atau tidaknya beliu pulalah yang menyampakain
kepada Raja Alam pada waktu itu beserta disaksikan oleh seluruh rakyat, oleh
Raja Alam pada saat itu setiap tahunnya diadakan upacara memberikan makan
kepada segenap rakyat, daging kerbau yang dipotong dibagi-bagikan untuk dimasak
dan dimakan bersama-sama sebagai kewajiban Yang Dipertuan Raja Alam yang dikenal
juga dengan batabua urai (memberi makan).
Banuaran, adalah sebuah kampuang
tertua yang berada di Banda Lakun (Alam Surambi Sungai Pagu) yang berada di
Alam pauah Duo, merupakan pijakan pertama nenek moyang pada generasi pertama
dan kedua, disana terdapat kandang kabau (peternakan kerbau) kepunyaan Inyiak
Rajo Tuakal, disini terdapat kumpulan kerbau jantan yang ukurannya sangat
besar-besar yang disebut dengan “Bujang Sembilan” menurut legenda,
kerbau-kerbau tersebut berkeliaran sampai ke Tapan daerah Sako di Pesisir
Pantai Barat, awal ceritanya Bujang Sembilan inilah yang pertama kali dikirim
untuk diserahkan kepada Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Sungai Pagu sebagai
upeti atau bunga padang setiap tahunnya.
TATA CARA PELAKSANAAN
Setiap akan dimulai turun kesawah
bersamaan dengan datangnya musim hujan antara pertengahan bulan Desember sampai
dengan pertengan bulan Januari, Penghulu adat yang ada dalam lingkungan batas
dari Balun batu Hilir sampai keranah Pasir Talang, terus ke Languang dan Koto
Baru, ke Sako Luhak nan Tujuh sampai ke Batang Marinteh Mudiak di Pauah Duo,
menetapkan dengan mufakat untuk membantai/memotong Kerbau yang besar, serta
menyampaikan plakat turun kesawah dan upacaranya. Seterusnya proses komunikasi
antar suku untuk perencanaan sampai dengan pelaksanaan upacara dilakukan secara
berjenjang, mulai dari tingkat persiapan, teknis dan tahapan upacara puncak.
Adapun urutan-urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. Pada hari yang telah ditentukan, setiap penduduk
yang memiliki kerbau yang besar dan bagus harus dibawa kelapangan yang telah
ditentukan untuk ditaksir/dinilai bersama-sama, kerbau mana yang akan dibantai
nantinya.
2. Yang berwenang untuk menunjuk dan memilih Kerbau
tersebut adalah orang dari Alam Pauah Duo.
3. Sedangkan untuk menentukan (mamatuik) dan
mempertibangkan pantas apa tidaknya adalah orang dari Parik Gadang Diateh.
4. Setelah diputuskan barulah pembayaran dan
pembantaian dilaksanakan. (Uang pembayaran berasal dari iuran/patungan Penghulu
adat disetiap suku).
5. Walaupun diarena atau lapangan tersebut banyak
dihadiri oleh orang-orang yang berpengalaman dalam memperhitungkan harga dan
layak atau tidaknya kerbau yang akan di bantai tersebut, mereka tidak dapat
untuk dimintakan pendapatnya mengenai hal tersebut diatas, hak veto dalam
memilih kerbau ini adalah hak dari orang Alam Pauah Duo, sementara hak untuk
mempertimbangkan dan penawaran harga adalah hak orang dari Parik Gadang Diateh.
Adapun yang menjadi pokok dalam
pembagian daging dari membantai kerbau besar ini bukanlah berdasarkan jumlah
Penghulu yang ada atau hadir, melainkan berdasarkan raja yang ada di Alam
Surambi Sungai Pagu, atau lebih dikenal dengan sebutan Rajo Nan Barampek
sedangkan Raja Alam Surambi Sungai Pagu yang disebut sebagai Payuang Sakaki
tombak sabatang, karena itu pembagian daging ini hanya terdiri dari lima
bagian/kelompok yang terditi dari :
1. Seperlima bagian untuk Rajo suku Melayu yang
dibagikan kepada penghulu/ninik mamak yang ada pada pesukuan kaum Melayu
tersebut.
2. Seperlima bagian untuk Rajo suku Kampai yang juga
dibagikan kepada penghulu/ninik mamak yang ada pada pesukuan kaum Kampai
tersebut.
3. Seperlimanya lagi diserahkan pada Rajo dari kaum
suku Tigo Lareh Bakapanjgan yang juga dibagikan kepada penghulu/ninik mamak
yang ada pada pesukuan kaum Tigo Lareh Bakapanjangan tersebut.
4. Juga Seperlima bagian untuk Rajo suku Panai yang
dibagikan kepada penghulu/ninik mamak pada pesukuan kaum Panai tersebut.
5. Dan seperlima bagiannya lagi dikembalikan ke
asalnya di Batang Marinteh Mudiak (Alam Pauah Duo) untuk atas nama Dt. Rajo
Mulie, yang indak Rajo kaganti Rajo, atau wakil Rajo Alam Surambi Sungai Pagu
di Pauah Duo untuk dibagikan kepada masyarakat Alam Pauah Duo.
Sedangkan khusus untuk kepala kerbau
yang di bantai diserahkan kepada Daulat Raja Alam Surambi Sungai Pagu yang
disebut juga dengan ikua kudan kapalo kudan. Pembagian ini tergambar dalam
bentuk dan potongan balai adat yang menjadi lambang adat Alam Surambi Sungai
Pagu, bentuk dan tampaan balai adat tersebut seperti lebar anjungannya lebih
kecil dari lebar ruangan (badan) balai-balai tersebut artinya “ketinggian Raja
yang berkuasa keluar daerah, sedangkan kebesaran penghulu berhak kedalam/parik
rantang” Alam Surambi Sungai Pagu.
Setelah selesai pelaksanaan
membantaian atau memotong Kerbau, maka keesokan harinya dilaksanakan upacara
puncak dengan makan-makan bersama, pada kesampatan ini diumumkan plakat turun
kesawah selengkapnya menurut tata tertib yang disusun. Upacara ini diadakan di
Mesjid Raya Alam Surambi Sungai Pagu (dahulu Mesjid kurang aso enam puluh) di
Ranah Pasir Talang, peserta upacara duduk berkelompok menurut belahan besar
sukunya masing-masing, sesuai dengan susunan ruangan dalam Masjid yang telah
dirancang orang tua-tua dahulunya yaitu sebanyak Lima ruangan. Dua ruangan
bagian selatan diisi oleh suku Kampai dan Tigo Lareh Bakapanjangan, dua ruang
bagian utara di sisi oleh kaum suku Malayu dan Panai, sedangkan ruangan yang
terdapat pada bagian tengah diisi oleh tamu udangan atau para pejabat
pemerintahan.
Membantai yang diutarakan diatas
disebut juga bantai rajo-rajo dan tiap-tiap luhak atau daerah kelompok sawah yang
ada dalam parik rantang Sungai Pagu melaksanakan juga upacara membantai kerbau
salo-manyalo yang dimulai dari Kapalo Banda di Balun (Parik Gadang Diateh),
yaitu dengan jarak waktu kurang lebih seminggu dan sebagai upacara penutup
sebelum turun kesawah dilaksanakan di Batang Marinteh Mudiak (Alam Pauah Duo)
yang pelaksanaannya bertempat di Balai-balai lapeh, badinding bukik, baatok
langik dan balantai tanah, dihadiri oleh Raja-raja atau yang mewakili beliau
serta Niniak Mamak, disinilah utusan Rajo Alam menyampaikan titah berupa
perintah atau larangan dan pantangan supaya dijauhi, diucapkan amad/larangan
yang isinya antara lain :
1. Karimbo, kayu tak bulieh ditabang, rotan tak bulieh
dirangguikan, manau tak buliah dipancuang.
2. Ka Batang Aie, aia tak buliah dikaruah, batu tak
buliah dibaliak, tabiang tak buliah diruntuah, ikan tak buliah dicakau.
3. Ka samak baluka, buah manih, buah masam tak buliah
diambiak dipanjek mudo, dan lain-lain.
Kok pantang dilampau, kok amad
dilansuangkan/dilanggar maka kabawah indak baurek, kaateh indak bapucuak, di
tangah-tangah digiriak kumbang, bak karakok tumbuah diateh batu, iduik sagan
mati ndak amuah, dimakan sumpah sati.
Setelah pengelolaan sawah mulai dari
pembagian air, menggarap, menabu dan batanan sampai pada saat padi di sawah
telah disiangi, padi telah mulai terbit (berbuah) dan sawah mulai mulai
dikeringkan, maka pantangan dan larangan diakhiri, yang disebut “mambubuih
amad”, dan diatur dengan tata cara dalam kebijaksanaan hukum sebagai pedoman,
kok maampang jaan sampai kasubarang, kok mandindiang jaan sampai ka langik, kok
bubuik jan maruntuah tabiang, kok ungkai jan mararak bingkai.
Begitulah asal mulanya Membantai
Kabau Nan Gadang (Besar) yang telah menjadi adat kebudayaan turun temurun
setiap tahunnya saat mualai turun kesawah di Alam Surambi Sungai Pagu.