Danau Maninjau adalah sebuah danau di
kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota
Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam.
Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50
meter di atas permukaan laut. Luas Maninjau sekitar 99,5 km² dan
memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Cekungannya terbentuk karena
letusan gunung yang bernama Sitinjau (Gunung Maninjau Purba) .
Maninjau Purba meletus dahsyat sekitar 60.000 tahun yang lalu. Letusan
ini menyemburkan 220-250 kilometer kubik rempah vulkanik yang tersebar
hingga radius 75 kilometer dari pusat letusan.
Gunung api
Maninjau yang berkembang di zona Sesar Besar Sumatera itu diperkirakan
tiga kali meletus besar. Masing- masing letusan membentuk kaldera yang
saling menyambung hingga membentuk Danau Maninjau seperti saat ini.
Jejak letusan dahsyat Maninjau tersingkap jelas di Ngarai Sianok di
dekat kawasan wisata Bukittinggi, Sumatera Barat. Lembah besar itu
diapit tebing terjal berona cerah hasil aliran awan panas dan endapan
material jatuhan letusan Maninjau Purba. Ketebalan material letusan yang
terpotong Batang Sianok itu mencapai 220 meter.
Endapan
material letusan Maninjau itu diteliti HD Tjia Geolog dari Universitas
Kebangsaan Malaysia dan Ros Fatihah, peneliti geologi dari Universitas
Malaya yang dituangkan dalam penelitian Blasts from the Past Impacting
on Peninsular Malaysia (2008). Tjia yang pernah mengajar di Institut
Teknologi Bandung (ITB) ini menemukan tiga teras sungai yang menunjukkan
terjadinya tiga periode letusan itu. Teras pertama berada sekitar 16
meter dari dasar sungai. Teras kedua menjulang hingga 200 meter dan
tidak ada pelapisan.
”Tuff (material endapan letusan) yang
sangat tebal itu menunjukkan pernah terjadi letusan sangat besar yang
semburan tepra (fragmen batu apung) tersebar sangat luas, seperti yang
terjadi di Toba,” tulis Tjia.
Hal ini wajar terjadi di Sumatra,
mengingat pulau ini dilalui Patahan Semangko yaitu bentukan geologi
yang membentang di Pulau Sumatera dari utara ke selatan, dimulai dari
Aceh hingga Teluk Semangka di Lampung. Patahan inilah membentuk
Pegunungan Barisan, suatu rangkaian dataran tinggi di sisi barat pulau
ini.
Dengan Banyaknya Gunung di Pulau Sumatra, pulau ini
dikenal dengan sebutan Bhūmi Mālayu dari semenjak dahulu, (malaya yang
berarti gunung).
Deretan gunung di Sumatra menyebabkan pulau
ini juga kaya dengan air panas alami dan menyimpan energi panas bumi.
Berdasarkan hasil penelitian F Junghun (1854), USGS menyebutkan,
sedikitnya terdapat 23 sumber air panas di sepanjang lembah Bukit
Barisan yang berpotensi menghasilkan energi panas bumi. Survei yang
dilakukan Geothermal Energy New Zealand Ltd pada 1986 bahkan menemukan
37 sumber air panas.
Tak hanya itu. Berimpit dengan deretan
lembah, mengular "sabuk emas" yang memasyhurkan Sumatera sebagai
Svarnadwipa. Kata dari bahasa Sanskerta itu berarti "Pulau Emas" seperti
tertera dalam Prasasti Nalanda India yang dipahat pada tahun 860
Masehi.
William Marsden, dalam bukunya, History of Sumatera
(1783), menyebutkan, Sumatera pernah diduga sebagai Ophir, tempat armada
Solomon (Sulaiman) mengambil muatan emas dan gading. Meski dugaan
tentang Ophir menurut Marsden tak berdasar, pulau ini memang penghasil
emas tiada tara.
Logam mulia ini, terutama ditemukan di kawasan
tengah pulau di sepanjang Bukit Barisan seperti di Martabe, Bangko,
Rawas, Lebong, dan Natal. Minangkabau dianggap sebagai daerah terkaya
sehingga Belanda banyak mendirikan loji di Padang.
Menurut Marsden, di daerah Minangkabau saja terdapat tidak kurang dari 1.200 lokasi tambang emas.
"Sebanyak 283.000 gram-399.600 gram setiap tahun tersimpan di Padang,
di pasar bebas, atau di tangan perseorangan. Sementara itu, kira-kira
28.000 gram dipasarkan di Nalabu, di Natal kira-kira sebanyak 23.000
gram, dan di Mukomuko 17.000 gram," tulis Marsden.
TM Van
Leuwen memberikan gambaran lebih komplet soal produksi logam mulia dari
Sumatera. Dalam tulisannya di Journal of Geochemical Exploration, edisi
ke-50, 1994, dia memperkirakan, total emas yang dikeruk dari Sumatera
sejak eksplorasi Belanda hingga 1994 mencapai 91 ton dan perak sebanyak
937 ton.
Jauh sebelum Belanda datang dan mengeruk emas dari
Sumatera, perdagangan emas dari pulau ini sudah berlangsung lama. Dalam
buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2003), Marie-France Dupoizat dan
Daniel Perret menyebutkan, pengelana Tome Pires pada awal abad ke-16
mencatat bahwa emas diperdagangkan di seluruh pelabuhan di Sumatera,
terutama di Barus.
Pelabuhan tua di pantai barat Sumatera Utara
ini telah disebutkan dalam karya Ptolomeus, Geographia, yang ditulis
pada abad ke-2 Masehi.