Menurut catatan Kerajaan Goa dan Bone,
agama islam masuk dengan resmi ke negeri itu adalah sekitar tahun 1602 atau
1603, karena Raja Goa Kraeng Tanigallo telah menerimanya dari tiga orang guru
agama Islam yang dating dari Minangkabau yaitu Dato’ Ri Bandang, Dato, Ri
Patimang dan dato, Ri Tiro. Tetapi sebelum raja memeluk agama Islam, orang
Islam sebagai pedagang telah ada di Goa jauh sebelum itu. Ketika suatu
perutusan Portugis dating ke Goa pada tahun 1540, mereka telah mendapati
beberapa orang berdiam di Goa, tetapi mereka datang dari daerah lain. Dapatlah
laporan orang Portugis itu diterima, jika diingat setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis pada tahun 1511 banyak pedagang Islam melarikan nasibnya ke
daerah lain, diantaranya ke Makassar.
Sultan Babullah dari Ternate giat mempropagandakan Agama islam ke
daerah Makassar itu tahun 1570 dan tahun 1583. Pulau Buton telah menerima islam
dari Ternate. Tetapi Raja Makassar yang belum memeluk agama Islam itu, masih
berfikir-fikir dan menimbang-nimbang, agama yang manakah yang akan baginda
terima. Kattholikkah, yang telah dipropagandakan oleh Portugis, atau Islam yang
dipropagandakan oleh Ternater, keduanya sama mendesak. Memeluk suatu agama
resmi, bagi seorang raja yang besar dengan sendirinya akan sangat besar
pengaruhnya atas politik.
Dalam hati kecilnya sang baginda raja Goa telah sudi menerima islam tetapi
jangan hendaknya di bawah pengaruh Kerajaan Ternate yang dekat tempatnya. Dan
dalam hati pula baginda belum bias menerima ajaran Khatolik, tetapi bujukan
pendeta bertubi-tubi. Akhirnya baginda mengambil keputusan yang cerdik sekali,
beliau akan masuk ke dalam salah satu agama, Katholik atau Islam. Tetapi
baginda hendak meminta penjelasan/penerangan yang lebih luas dan dalam yaitu dari
sumber yg asli. Dimintalah kepada Portugis untuk mendatangkan Pendeta dari
Malaka dan dimintnya pula kepada pihak Islam, supaya mengirimkan ulama yang
lebih alim dari Kerajaan Aceh, sebab Aceh lebih tua Islamnya.
Baru saja permintaan itu kepada Sultan Aceh (Sultan saidi Al-Mukammil)
permintaan itu segera dilaksanakan. Sehingga dikirimlah sebuah perutusan Ulama.
Dalam catatan orang Bugis Makassar ulama itu dating dari Minangkabau
diantaranya Khatib Tunggal (disebut Dato Ri Bandang gelarnya di Makassar
atau Dato di Bandar disebut gelarnya di Bhima) terdapat kuburnya sekarang ini
di Tallo sebelah utara Goa. Tidaklah ada perbedaan pendapat bahwa mereka
dari Minangkabau, diutus oleh Sultan Aceh. Sebab Tiku, Pariaman, Air Bangis,
Painan dan Indrapura adalah pantai pesisir Minangkabau yang pada ketika itu di
bawah kekuasaan Aceh. Dikatakan para mubaligh Islam dari Minangkabau
tersebut berasal dari kerajaan Islam Indrapura.
Agama Islam diterima oleh Kraeng
tanigallo thn 1603, lalu beliau memakai gelar Islam “Sultan Ala’udin Awwalul
Islam” yang menerima ajaran tauhid dari Khatib Tunggal (Dato Ri Bandang) yang
telah menimbulkan semangat baru bagi orang Makassar. Sultan Alauddin mangkat
(setelah mangkat disebut gelarnya “Matinro Ri Agamanna/ mangkat karena
memajukan agamanya), naiklah putranya Sultan Hasanuddin.
bagaimana perjuangan dan kiprah mereka
dalam penyebaran agama islam di Sulawesi Selatan ini secara lebih dalam ?
1. Wilayah Tallo dan Goa :
Sekitar awal abad ka 17, ketiga orang
datuk ini mengislamkan Raja Tallo, pada hari Jumat 14 Jumadil Awal atau 22
September 1605, kemudian menyusul Raja Gowa XIV, yang akhirnya bernama Sultan
Alauddin.” Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa merupakan kerajaan kembar yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Bahkan Mangkubumi (Perdana Menteri)
kerajaan Gowa adalah juga Raja Tallo. Raja Tallo XV, Malingkaan Daeng
Manynyonri merupakan orang pertama di Sulsel yang memeluk agama Islam melalui
seorang ulama dari pantai Barat Sumatera, Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau
populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama Datuk Ribandang. Oleh karena
itu pulalah kerajaan Tallo sering disebut-sebut atau diistilahkan sebagai pintu
pertama Islam di daerah ini atau dalam bahasa Makassar ” Timunganga Ri Tallo”.
Kemudian Raja Gowa secara resmi
mengumumkan bahwa agama resmi kerajaan Gowa dan seluruh daerah bawahannya
adalah agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam di Sulsel, masyarakat masih
menganut kepercayaan animisme. Dalam riwayat dikisahkan bahwa awalnya Datuk
Ribandang sendiri bersama kawannya dilihat oleh rakyat kerajaan Tallo sedang
melakukan shalat Asyar di tepi pantai Tallo. Karena baru pertama kalinya itu
rakyat melihat orang shalat, mereka spontan beramai-ramai menuju istana
kerajaan Tallo untuk menyampaikan kepada Raja tentang apa yang mereka saksikan.
Raja Tallo kemudian diiringi rakyat dan pengawal kerajaan menuju tempat Datuk
Ribandang dan kawan-kawannya melakukan shalat itu.
Begitu melihat Datuk Ribandang sedang
shalat, Raja Tallo dan rakyatnya secara serempak berteriak-teriak menyebutkan
”Makkasaraki nabi sallalahu” artinya berwujud nyata nabi sallallahu. Inilah
salah satu versi tentang penamaan Makassar, itu berasal dari ucapan ‘Makkasaraki’
tersebut yang berarti kasar/nyata.
Datuk Ribandang sendiri menetap di
Makassar dan menyebarkan agama Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan
wafat di Tallo. Sementara itu dua temannya, masing-masing Datuk Patimang yang
nama aslinya Khatib Sulung Datuk Sulaiman, menyebarkan agama Islam di daerah
Suppa, Soppeng, Wajo dan Luwu, dan wafat dan dikebumikan di Luwu. Sedang Datuk
RiTiro atau nama aslinya Syekh Nurdin Ariyani berkarya di sejumlah tempat
meliputi Bantaeng, Tanete, Bulukumba. Dia wafat dan di makamkan di Tiro atau
Bontotiro sekarang.
2.
Makassar – Bulukumba – Luwu ;
Sentuhan ajaran agama islam yang
dibawa oleh ulama besar dari Sumatera itu, juga terdapat di Bagian selatan
Sulawesi Selatan yang lain, yaitu Kabupaten Bulukumba, yang bertumpu pada
kekuatan lokal dan bernafaskan keagamaan”. masing-masing dibawa oleh 3 orang
Datuk ; bergelar Dato’ Tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar), dan Dato
Patimang (Luwu),
3.
Kabupaten Luwu dan Palopo
Sementara dalam itu sejarah Islam Kabupaten Luwu dan Palopo,
menerangkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV M dan kira-kira pada tahun 1013
H, Agama Islam masuk didaerah Luwu yang dibawah oleh seorang alim Ulama yang
arief ketatanegaraannya yaitu Datuk Sulaeman asal Minangkabau.
Pada waktu itu Luwu diperintah oleh
seorang Raja yang bernama Etenrieawe. Ketika Datuk Sulaeman mengembangkan
ajaran agama Islam di wilayah ini, hampir seluruh masyarakat Luwu menerima
agama itu. Ketika itu kerajaan dibawah naungan Pemerintahan Raja Patiarase yang
diberi gelar dengan Sultan Abdullah ( saudara kandungnya bernama Patiaraja
dengan gelar Somba Opu) sebagai pengganti dari Raja Etenriawe, kemudian Datuk
tersebut dalam mengembangkan Misi Islam, dibantu oleh dua ulama ahli fiqih
yaitu Datuk Ribandang yang wafat di Gowa, dan Datuk Tiro yang wafat di Kajang
Bulukumba .dan Datuk Sulaeman wafat di Pattimang Kecamatan Malangke, _+ 60 Km
jurusan utara Kota Palopo melalui laut.
Datuk Sulaeman yang berasal dari
Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Patimang, karena beliau
wafat dan dimakamkan di Pattiman.
Tak kurang ada sebuah hikayat yang
mengkisahkan bahwa Al Maulana Khatib Bungsu (Dato Tiro) beserta kedua
sahabatnya (Datuk Patimang dan Datuk Ribandang) mendarat di pelabuhan Para-para.
Setibanya di darat, ia langsung menuju perkampungan terdekat untuk
memberitahukan kedatangannya kepada kepala negeri. Namun dalam perjalanan
menuju rumah kepala negeri, Dato Tiro merasa haus, dan beliau pun bermaksud
untuk mencari air minum namun disepanjang pantai tersebut tidak terdapat sumur
yang berair tawar. Dato Tiro menghujamkan tongkatnya di salah satu batu di tepi
pantai Limbua sambil mengucap kalimat syahadat “Asyhadu Ala Ilahaillallah wa
Ashadu Anna Muhammadarrasulullah”, anehnya setelah tongkatnya dicabut,
keluarlah air yang memancar dari lubang di bibir batu tersebut. Pancaran air
sangat besar dan tidak henti-hentinya mengalir sehingga akhirnya membentuk
sebuah genangan air.Penduduk dan para pelaut kemudian memanfaatkan mata air ini
untuk keperluan hidup sehari-hari. Hingga saat ini mata air tersebut tidak
pernah kering dan ramai dikunjungi masyarakat.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap
penyebar agama Islam bersuku Minangkabau di Sulawesi Selatan, maka gedung pusat dakwah
Muhammadiyah Sulawesi selatan di Makassar memakai arsitektur RUMAH GADANG..
Sumber
:
Sejarah
Islam : Prof. Dr. Hamka, Cetakan Pertama 1994. Pustaka nasional PTE LTD,
Singapura (via rantaunet)
http://bundokanduang.wordpress.com/2008/10/10/kunang-kunang/